hijaukan bantaeng

hijaukan bantaeng
format spanduk dan baliho untuk penghijauan

Selasa, 08 November 2011

Spirit Publik
Volume 4, Nomor 1
Halaman: 69 - 84
ISSN. 1907 - 0489
April 2008
69
Studi Implementasi Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes) dalam Meningkatkan Pembangunan pada Desa Sebuntal
Kecamatan Marang Kayu Tahun Anggaran 2006
Study of Implementation Policy of Revenue Plan and Expense Village in Improving
Development at Sebuntal Village District of Marang Kayu in 2006
Melati Dama
Jurusan Ilmu Administrasi
FISIP Universitas Mulawarman
melati_dama@yahoo.com
(Diterima tanggal 17 Januari 2008, disetujui tanggal 21 Februari 2008)
ABSTRACT
In the implementation of the disctrict autonomy, Kutai Kartanegara Regancy, issued a development program
named “Gerbang Dayaku”. In this program the local government allocated two billion rupiahs to each village
annually, so villages accepted more than 2 billions rupiahs for a year and then added by original village income
and aids from the state and regancy government. That financial arranged in revenue plan and expense village.
Unfortunately it didn’t work well and there are still poor villages such as Sebuntal Village where its development
was still behind. Based on a research using Miles and Huberman analysis method, the implementation of
Gerbang Dayaku program was focused in the sub disctrict and related institutions only. This is not in-accurate
with the principle of disctrict autonomy as line the village finance should be arrange by village government.
Beside that, the society didn’t know about the specific but the village development in general. Since the white
paper programs as mentioned in the white paper arrangement not fully based on society’s needs. Basically the
white paper similar to the village arrangements.
Keywords: Implementation, Policy, Revenue, Development, Village
PENDAHULUAN
Dalam rangka pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia, ditetapkan undang-undang
otonomi daerah yaitu Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang “Pemerintahan
Daerah” dan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang “Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah”. Pelaksanaan otonomi
daerah menurut undang-undang tersebut lebih
ditekankan pada azas desentralisasi terutama
untuk daerah kabupaten/kota. Azas
desentralisasi yang dimaksud yaitu daerah
diberi kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat di
daerahnya sesuai aspirasi masyarakat di daerah
tersebut (sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan masyarakat). Kewenangan daerah
untuk mengatur daerahnya termasuk
didalamnya kewenangan untuk mengelolah
keuangan daerahnya masing-masing. Undangundang
ini kemudian direvisi menjadi Undangundang
Nomor 32 & 33 Tahun 2004, tetapi
pada dasarnya tidak ada perubahan yang terlalu
mencolok dalam undang-undang tersebut
terutama dalam hal pengelolaan keuangan
daerah.
Berdasarkan undang-undang tersebut,
maka otonomi daerah yang ditekankan pada
azas desentralisasi dilaksanakan oleh berbagai
daerah di Indonesia termasuk daerah
Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten
Kutai Kartanegara. Salah satu program yang
dibuat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Spirit Publik Vol. 4, No. 1, April 2008 Hal. 69 – 84
70
Kutai Kartanegara dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah yaitu program “Gerbang
Dayaku". Isi dari program tersebut adalah
pemberian dana 1 milyar pertahun untuk tiap
desa yang kemudian meningkat menjadi 2
milyar pertahun untuk tiap desa.
Desa Sebuntal adalah salah satu desa di
wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara yang
merupakan bagian dari Kecamatan Marang
Kayu. Sama halnya dengan desa lainnya di
wilayah Kutai Kartanegara, di Desa
Sebuntalpun setiap tahunnya diberikan dana
sebesar 2 milyar, dengan demikian keuangan
Desa Sebuntal untuk tiap tahun lebih dari 2
milyar karena ditambah dengan pendapatan
asli desa. Anggaran/keuangan desa ini disusun
dalam APBDes setiap tahun oleh pemerintah
desa.
Dengan melihat keuangan desa yang
sangat besar, seharusnya pembangunan di
desa-desa dalam wilayah Kabupaten Kutai
Kartanegara termasuk Desa Sebuntal sangat
maju, kenyataannya masih banyak desa di
wilayah Kutai Kartanegara yang
pembangunannya masih tertinggal jika
dibandingkan dengan daerah lainnya. Sebagai
contoh Desa Sebuntal. Adapun permasalahan
mendasar dalam pembangunan di Desa
Sebuntal, yaitu:
1. Prasarana dan Sarana Pendidikan
- Kondisi bangunan sekolah yang sudah
tua dan rusak seperti atap yang bocor,
plavon yang sudah hancur, dinding dan
lantai bangunan yang terbuat dari kayu
dan sudah rapuh, sehingga membahayakan
bagi keselamatan murid,
selain itu sarana pendukung proses
belajar mengajar lainnya seperti meja
dan kursi yang sudah rusak (untuk
bangunan sekolah dasar).
- Minimnya koleksi buku pada
perpustakaan sekolah yang dapat
menunjang proses belajar mengajar,
sedangkan untuk sekolah dasar yang ada
hanya buku-buku yang sudah tua.
- Tidak ada laboratorium untuk SLTP.
2. Prasarana dan Sarana Transportasi
- Kondisi jalan yang menghubungkan
antara Desa Sebuntal dengan wilayah
perkotaan sebagian besar belum diaspal
(+ 10 km) dan struktur tanahnya tidak
rata, sehingga sangat menyulitkan
terutama bila musim hujan. Demikian
juga halnya dengan kondisi jalan dalam
Desa Sebuntal juga mengalami
kerusakan sehingga menyulitkan bagi
para pengguna jalan terutama yang
memakai kendaraan bermotor
- Selain itu, angkutan umum yang hanya
beroperasi pada pukul 05.30-06.30
semakin menambah sulitnya masyarakat
yang ingin ke kota.
3. Fasilitas Penerangan (Listrik)
- Listrik di desa, ini hanya berfungsi pada
malam hari yaitu mulai pukul 17.00-
07.00 dan kondisi ini telah berlangsung
lebih dari 15 tahun. Hal ini sangat
menghambat jalannya kegiatan
masyarakat yang menggunakan tenaga
listrik. Selain itu, usaha-usaha
masyarakat yang memanfaatkan tenaga
listrik tidak dapat berkembang.
Permasalahan yang dipaparkan tersebut
tidak hanya ditemukan di Desa Sebuntal tetapi
juga pada desa-desa lainnya, terutama desadesa
yang ada di wilayah Kecamatan Marang
Kayu (terutama permasalahan listrik).
Meskipun dana yang dimiliki oleh suatu
daerah sangat besar, tetapi bila tidak diatur
DAMA – Implementasi Kebijakan APBDes Sebuntal Kec. Marang Kayu Tahun 2006
71
dengan baik dalam penggunaannya (dalam
proses implementasinya) maka akan
mengakibatkan dana tersebut menjadi sia-sia
atau tidak bisa memberikan hasil yang
maksimal kepada daerah tersebut, karena
dalam proses implementasi selalu terbuka
kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa
yang diharapkan (direncanakan) dengan apa
yang senyatanya dicapai (hasil dari penerapan
kebijakan), atau dengan kata lain kebijakan
tersebut memiliki peluang gagal dalam
pelaksanaannya.
Hogwood dan Gun (dalam Solichin
Abdul Wahab, 2004:61), membagi pengertian
kegagalan kebijakan kedalam dua kategori,
yaitu non implementation dan unsuccessful
implementation. Tidak terimplementasikan
mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak
dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin
karena pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan tidak mau bekerja sama, atau
mereka telah bekerja secara tidak efisien, atau
karena mereka tidak sepenuhnya menguasai
permasalahan. Akibatnya, impelentasi yang
efektif sukar untuk dipenuhi. Sementara itu,
implementasi yang tidak berhasil biasanya
terjadi manakalah suatu tertentu telah
dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun
mengingat kondisi eksternal ternyata tidak
menguntungkan (misalnya tiba-tiba terjadi
pergantian kekuasaan, bencana alam, dan lain
sebagainya) kebijakan tersebut tidak berhasil
mewujudkan dampak atau hasil akhir yang
dikehendaki.
Untuk dapat memahami dengan baik
tentang proses implementasi, maka harus
dilihat mulai proses penyusunan hingga
evaluasi.
Proses implementasi anggaran/ keuangan
di Desa Sebuntal, diatur berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Kutai
Kartanegara Nomor 3 Tahun 2000 tentang
“Pedoman Penyusunan APBDes”, yang
memuat antara lain:
1. Penetapan Anggaran Desa
2. Pengesahan Anggaran Desa
3. Pelaksanaan Anggaran Desa
4. Pertanggungjawaban Anggaran Desa
Menurut Sukasmanto (2004:73), dalam
proses implementasi anggaran desa dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu:
1. Transparansi
Menyangkut keterbukaan pemerintah desa
kepada masyarakat mengenai berbagai
kebijakan atau program yang ditetapkan
dalam rangka pembangunan desa.
2. Akuntabilitas
Yaitu kemampuan pemerintah desa
mempertanggungjawabkan kegiatan yang
dilaksanakan dalam kaitannya dengan
masalah pembangunan dan pemerintahan
desa. Pertanggungjawaban yang dimaksud
terutama menyangkut masalah finansial.
3. Partisipasi masyarakat
Menyangkut kemampuan pemerintah desa
untuk membuka peluang bagi seluruh
komponen masyarakat untuk terlibat dan
berperan serta dalam proses pembangunan
desa.Hal ini sesuai dengan prinsip otonomi
daerah yang menitikberatkan pada peran
serta masyarakat.
4. Penyelengaraan pemerintahan yang efektif,
dimana penyusunan APBDes didasarkan
pada partisipasi masyarakat
5. Pemerintah tanggap terhadap aspirasi yang
berkembang di masyarakat
Yaitu menyangkut kepekaan pemerintah
desa terhadap permasalahan yang ada
dalam kehidupan masyarakat dan apa yang
Spirit Publik Vol. 4, No. 1, April 2008 Hal. 69 – 84
72
menjadi kebutuhan serta keinginan
masyarakat.
6. Profesional
Yaitu keahlian yang harus dimiliki oleh
seorang aparatur sesuai dengan jabatannya.
Untuk dapat memahami dengan baik
pengaturan keuangan di Desa Sebuntal, maka
harus ditinjau dari sudut peraturan yang
mengaturnya yaitu Peraturan Daerah
Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 3 Tahun
2000, serta kebijakan - kebijakan yang lain,
dalam kaitannya dengan pengaturan
penyusunan dan penggunaan keuangan desa.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian yang
bersifat deskriptif kualitatif, yaitu jenis
penelitian yang berusaha menggambarkan
keseluruhan proses dari suatu permasalahan
yang diteliti sebagai suatu kesatuan yang utuh
dan berusaha untuk mengungkapkan makna
yang terkandung dalam proses tersebut.
Dalam penelitian ini, yang menjadi key
informant adalah Kepala Desa Sebuntal beserta
kaur-kaurnya, Camat Marang Kayu beserta
stafnya dan tokoh-tokoh masyarakat. Alasan
dipilihnya mereka sebagai key informant
karena mereka yang memahami tentang
kebijakan pengaturan APBDes mulai dari
tahap perumusan sampai implementasi, namun
tidak menutup kemungkinan informan akan
bertambah sesuai dengan informasi yang
dibutuhkan karena teknik yang digunakan
adalah snow ball sampling.
Penelusuran informasi yang diperlukan
tidak hanya dilakukan dengan wawancara,
tetapi juga dengan penelitian terhadap datadata
sekunder yang ada berupa peraturan
daerah yang mengatur masalah penyusunan
dan penggunaan anggaran, kebijakan lainnya
yang juga berkaitan dengan masalah
pengaturan dan penggunaan anggaran serta
APBDes yang telah disusun dalam rangka
penggunaan keuangan desa termasuk dana
yang berasal dari program Gerbang Dayaku.
Pengamatan secara langsung terhadap
kondisi Desa Sebuntal juga merupakan cara
yang digunakan untuk melengkapi informasi
yang diperlukan.
Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu analisis data dari Miles dan
Huberman (1992:16), dimana dalam analisis
ini terdapat tiga alur kegiatan yang terjadi
secara bersamaan, yaitu reduksi data,
penyajian data, penarikan kesimpulan/
verifikasi.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan metode penelitian yang
digunakan, diperoleh hasil mengenai proses
implementasi APBDes di Desa Sebuntal
sebagai berikut:
1. Penetapan APBDes Desa Sebuntal
Penetapan APBDes dilakukan oleh kepala
desa bersama dengan BPD. APBDes yang
ditetapkan oleh kepala desa dan BPD,
merupakan APBDes yang ditetapkan dari
hasil penyusunan rancangan APBDes yang
dibuat oleh kepala desa.
2. Pengesahan APBDes
Rancangan APBDes yang telah disusun
oleh kepala desa, kemudian diserahkan ke
BPD untuk mendapatkan persetujuan dari
BPD. Rancangan APBDes dinyatakan sah
menjadi APBDes apabila ditandatangani
oleh kepala desa dan mendapat persetujuan
dari BPD.
DAMA – Implementasi Kebijakan APBDes Sebuntal Kec. Marang Kayu Tahun 2006
73
APBDes pada Desa Sebuntal untuk tahun 2006 sebagai berikut:
Pendapatan
Kode
Anggaran
Uraian Jumlah
1.1.
1.1.1.
1.2.
1.2.1.
1.2.1.1.
1.2.2.
1.2.2.1.
1.2.2.2.
1.2.2.3.
1.2.2.4.
1.2.3.
1.2.3.1.
1.3.
1.3.1.
1.3.1.1.
1.3.3.
1.3.3.1.
1.3.3.2.
1.3.3.3.
1.3.3.4.
1.3.3.5.
1.3.3.6.
1.3.3.7.
1.3.3.8.
1.3.4.
1.3.4.1.
1.4.
1.4.1.
Pos sisa anggaran tahun lalu
Sisa anggaran tahun lalu
Pos Pendapatan Asli Desa
Hasil Usaha Desa:
Pabrik bata
Hasil kekayaan desa:
Tanah Kas Desa
Pasar/Kios Desa
Bangunan Desa
Objek Rekreasi
Pungutan Desa
Administrasi Desa
Pos Penerimaan yang berasal dari Pemerintah
Propinsi, Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Kabupaten:
Penerimaan dari Pemerintah Propinsi:
………………………………………
Penerimaan dari pemerintah Kabupaten:
Tunjangan Penghasilan Perangkat Desa
Tunjangan penghasilan BPD
Tunjangan penghasilan lembaga adat
Tunjangan penghasilan kepala dusun
Tunjangan penghasilan RT
Penyisihan penerimaan PRD/DPKK
Bantuan operasional kepala desa
Bantuan operasional BPD
Dana Bantuan Gerbang Dayaku
Alokasi dana desa
Pos pendapatan lain-lain
Sumbangan/bantuan pihak ketiga
-
-
-
-
-
-
Rp 10.000.000
-
Rp 35.400.000
Rp 18.000.000
-
Rp 10.800.000
Rp 15.600.000
Rp 5.369.829
Rp 15.000.000
-
Rp 2.000.000.000
-
Jumlah Rp 2.125.169.829
Sumber: APBDes Desa Sebuntal tahun 2006
Spirit Publik Vol. 4, No. 1, April 2008 Hal. 69 – 84
74
Belanja
Belanja Rutin
Kode
Anggaran
Uraian Jumlah Keterangan
2.R.
2.R.1.
2. R. 1.1.
2.R.1.2.
2.R.1.3.
2.R.1.4.
2.R.1.5.
2.R.1.6.
2.R.1.7.
2.R.1.8.
2.R.1.9.
2.R.1.10.
2.R.1.11.
2.R.1.12.
2.R.2.
2.R.2.1.
2.R.2.2.
2.R.2.3.
2.R.2.4.
2.R.2.5.
2.R.2.6.
Pos belanja penghasilan tetap dan
tunjangan kepala desa, BPD, lembaga adat,
RT.
Pos belannja penghasilan tetap dan
tunjangan kepala desa, BPD, lembaga adat,
RT:
Tunjangan Kepala Desa
Tunjangan Sekretaris Desa
Tunjangan Kepala Urusan
Tunjangan Bendaharawan Desa
Tunjangan Ketua BPD
Tunjangan Wakil Ketua BPD
Tunjangan Anggota BPD
Tunjangan Sekretaris BPD
Tunjangan Kepala Dusun
Tunjangan Staf Desa
Tunjangan Ketua RT
Tunjangan Penghasilan Lembaga Adat:
a. Ketua Adat Besar
b. Sekretaris Adat Besar
c. Pembantu Adat Besar
d. Ketua Adat Biasa
e. Sekretaris Adat Biasa
f. Pembantu Adat Biasa
Pos belanja barang dan jasa:
Pembayaran ATK
Pos belanja modal
Pembelian komputer
Pembelian mesin tik
Pembelian wireless
Pembelian meubelair
Rp 9.000.000
Rp 7.200.000
Rp 18.000.000
Rp 1.200.000
Rp 6.000.000
Rp 4.800.000
Rp 3.600.000
Rp 3.600.000
Rp 10.800.000
-
Rp 15.600.000
-
-
-
-
-
-
Rp 6.000.000
-
-
-
-
-
750.000 x 12 bln
600.000 x 12 bln
500.000 x 12 bln x 3
orang
100.000 x 12 bln
500.000 x 12 bln
400.000 x 12 bln
300.000 x 12 bln
300.000 x 12 bln
100.000 x 12 bln x 9
orang
50.000 x 12 bln x 26
orang
DAMA – Implementasi Kebijakan APBDes Sebuntal Kec. Marang Kayu Tahun 2006
75
2.R.3.
2.R.3.1.
2.R.3.2.
2.R.4.
2.R.4.1.
2.R.4.2.
2.R.5.
2.R.5.1.
2.R.6.
Pos belanja pemeliharaan:
Pengecatan gedung kantor
Pemeliharaan kendaraan milik
motor
Pos perjalanan dinas:
Perjalanan dinas ke kecamatan
Biaya perjalanan dinas ke
kabupaten
Pos belanja lain-lain:
Operasional BPD
Pos pengeluaran tidak terduga:
Rp 3.869.829
Rp 3.000.000
-
Rp 10.000.000
Rp 15.000.000
Jumlah belanja rutin Rp 125.169.829
Sumber: APBDes Desa Sebuntal Tahun 2006
Belanja Pembangunan
Kode
Anggaran
Uraian Jumlah Keterangan
Pos prasarana pemerintahan
Pembangunan gedung BPD
Aula/gedung olah raga
Pembangunan gedung BPU
Rehab kantor desa
…………………………….
Pos prasarana produksi
Pembuatan dam
Pembuatan sarana air
Pengadaan mesin pompanisasi
Pos prasarana perhubungan
Pembangunan pasar di……..
Pembangunan kios desa di…
Pos prasarana pemasaran
Pos pembangunan prasarana sosial
Pembangunan mesjid di……
Pembangunan gereja di……..
Pos peningkatan SDM
Bantuan pelatihan untuk industri rumah
tangga
Pembangunan lain-lain
Bantuan bidang ekonomi kerakyatan
dan bidang infra struktur
-
-
-
-
Rp 15.000.000
Rp 130.000.000
-
-
-
Rp 95.000.000
Rp 30.000.000
Rp 973.000.000
Rp 757.000.000
2.P.
2.P.1.1.
2.P.1.2.
2.P.1.3.
2.P.1.4.
2.P.1.5.
2.P.2.
2.P.2.1.
2.P.2.2.
2.P.2.3.
2.P.3.
2.P.3.1.
2.P.3.2.
2.P.4.
2.P.5.
2.P.5.1.
2.P.5.2.
2.P.6.
2.P.6.1.
2.P.7.
2.P.7.1.
Jumlah belanja rutin Rp 2.000.000.000
Sumber: APBDes Desa Sebuntal Tahun 2006
Spirit Publik Vol. 4, No. 1, April 2008 Hal. 69 – 84
76
3. Pelaksanaan APBDes pada Desa
Sebuntal
Dalam pelaksanaan APBDes,
Bendaharawan Desa Sebuntal bertugas
untuk mengatur penerimaan diluar
program Gerbang Dayaku. Jadi untuk
tahun anggaran 2006, bendaharawan desa
hanya menangani penerimaan yang
bersumber dari pendapatan asli desa,
berupa penerimaan dari pungutan biaya
administrasi surat-surat desa dan sebagian
dari penerimaan yang berasal dari
pemerintah kabupaten, yaitu penerimaan
untuk tunjangan perangkat desa, tunjangan
kepala dusun, tunjangan ketua RT.
Sedangkan untuk bidang pengeluaran,
bendaharawan desa hanya mengatur
masalah pengeluaran rutin, seperti:
pembayaran gaji perangkat desa, tunjangan
kepala dusun, tunjangan ketua RT,
pembayaran ATK, biaya pemeliharaan
kendaraan milik motor dan biaya
perjalanan dinas ke tingkat II. Sedangkan
tunjangan untuk ketua, sekretaris dan
anggota BPD, langsung diambil oleh BPD
ke kabupaten setiap tiga bulan sekali
(triwulan). Demikian juga untuk
pengeluaran pembangunan ditangani
langsung oleh kecamatan, dalam hal ini
oleh bendaharawan kecamatan.
Dalam pengelolaan keuangan desa,
bendaharawan desa menggunakan buku
administrasi keuangan desa, yaitu: buku
kas umum. Buku kas umum digunakan
oleh bendaharawan desa untuk mencatat
semua penerimaan dan pengeluaran rutin.
4. Pertanggungjawaban APBDes pada
Desa Sebuntal
Dalam pelaksanaan APBDes pada
Desa Sebuntal, belum pernah bendaharawan
desa membuat laporan
pertanggungjawaban mengenai penerimaan
dan pengeluaran rutin yang
diaturnya. Sedangkan untuk laporan
pertanggungjawaban mengenai pengeluaran
pembangunan ditangani langsung
oleh pimpinan proyek dan bendaharawan
kecamatan serta dinas-dinas terkait ke
kabupaten, karena pembayaran kegiatan
pembangunan ini, ditangani langsung oleh
bendaharawan kecamatan dan dinas-dinas
terkait.
PEMBAHASAN
Acuan pengaturan APBDes untuk desadesa
di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah
Peraturan Daerah Kabupaten Kutai
Kartanegara Nomor 3 Tahun 2000. Peraturan
daerah ini, juga menjadi acuan bagi Desa
Sebuntal dalam pengaturan APBDesnya.
1. Penetapan APBDes
Setiap awal tahun anggaran baru,
kepala desa dan BPD harus membuat
APBDes, yang memuat tentang program
kerja pemerintah desa dalam satu tahun
anggaran. Rancangan APBDes ini disusun
oleh kepala desa, kemudian dalam rapat
dengan BPD, rancangan tersebut dibahas.
Dalam rapat pembahasan rancangan
APBDes, BPD juga memberikan masukan
kedalam rancangan APBDes tersebut.
Rancangan APBDes di Desa
Sebuntal, dibuat oleh kepala desa, akan
tetapi rancangan APBDes yang telah
dibuat oleh kepala desa tidak dibahas lagi
dengan BPD melainkan tinggal disetujui
oleh BPD dengan tanda tangan ketua dan
sekretaris BPD. Pada dasarnya APBDes
yang ditetapkan oleh kepala desa dan BPD,
DAMA – Implementasi Kebijakan APBDes Sebuntal Kec. Marang Kayu Tahun 2006
77
tidak mengikuti aturan yang berlaku
sebagaimana yang ditetapkan dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Kutai
Kartanegara Nomor 3 Tahun 2000. Dalam
peraturan daerah tersebut diatur bahwa
APBDes ditetapkan paling lambat satu
bulan setelah APBD kabupaten ditetapkan
dan sebagai dasar bagi program kerja
pemerintah desa dalam tahun anggaran
berjalan. APBDes Desa Sebuntal bukanlah
ditetapkan paling lambat satu bulan setelah
APBD kabupaten ditetapkan, tetapi dibuat
pada saat program kerja dalam tahun
anggaran tersebut sementara berjalan.
Kondisi ini juga berlangsung pada tahun
anggaran 2006, dimana program pembangunan
desa sudah mulai berjalan sejak
bulan September, sedangkan rincian
APBDes baru dibuat pada bulan
November. Jadi dapat disimpulkan bahwa
penetapan APBDes di Desa Sebuntal
hanya sekedar formalitas.
Dari data pengeluaran rutin (yang
dilampirkan pada bagian hasil penelitian),
dapat dilihat ada beberapa data yang rancu,
seperti data tunjangan wakil ketua BPD,
dimana pada data tersebut dituliskan
bahwa tunjangan wakil ketua BPD Rp.
4.800.000 dengan rincian 400.000 x 12
bulan. Jika kita membaca data tersebut,
maka kesimpulan yang kita dapatkan
adalah wakil ketua BPD berjumlah satu
orang dengan tunjangan perbulan RP.
400.000, padahal kenyataannya wakil
ketua BPD ada dua orang dengan
tunjangan perorang sebesar Rp. 400.000
tiap bulan. Demikian juga data tunjangan
anggota BPD, dimana dalam data APBDes
2006, dituliskan bahwa tunjangan anggota
BPD adalah Rp. 3.600.000, dengan rincian
300.000 x 12 bulan. Padahal pada
kenyataannya anggota BPD berjumlah
sepuluh orang dengan tunjangan perorang
Rp. 300.000 tiap bulan. Data lainnya yang
juga terlihat rancu, yaitu data mengenai
tunjangan kepala dusun, yaitu RP.
10.800.000 dengan rincian 100.000 x 12
bulan x 9 orang, padahal kenyataannya
kepala dusun hanya ada delapan orang.
Dengan melihat kerancuan data tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa
penyusunan data tersebut adalah terburuburu
dan asal jadi.
Untuk bagian pengeluaran pembangunan,
masalah pembuatan dam (pintu
air) dan pembuatan sarana air adalah
merupakan program pembangunan yang
hampir tiap tahun dilakukan di Desa
Sebuntal. Program tersebut pada
kenyataannya kurang memberikan manfaat
bagi masyarakat di Desa Sebuntal secara
keseluruhan, karena banyak dam (pintu
air) yang dibuat terkesan tidak terpelihara
dan tidak dimanfaatkan, demikian juga
halnya dengan program pembuatan sarana
air. Pembuatan sarana air, sebenarnya
hanya pemborosan dana saja karena
program tersebut tidak bertahan lama atau
hanya bisa bertahan beberapa minggu saja,
setelah itu saluran air tersebut akan kotor/
ditumbuhi rumput lagi. Pembuatan sarana
air ini juga sebenarnya bisa dilakukan
dengan gotong royong, mengingat kondisi
daerah Sebuntal yang merupakan wilayah
pedesaan yang masih kental dengan
budaya gotong royongnya serta aktivitas
masyarakatnya yang tidak sepadat
penduduk kota.
Pada pos anggaran peningkatan
SDM, yang berupa pelatihan untuk industri
Spirit Publik Vol. 4, No. 1, April 2008 Hal. 69 – 84
78
rumah tangga, dengan anggaran Rp.
973.000.000, rincian kegiatannya masih
belum jelas atau bentuk kegiatan
konkretnya masih belum jelas, sehingga
menimbulkan tanda tanya dalam
pelaksanaannya. Demikian halnya dengan
pos pembangunan lain-lain, berupa
bantuan bidang ekonomi kerakyatan dan
bidang infra struktur dengan anggaran Rp.
757.000.000, bentuk kegiatan konkretnyapun
tidak diketahui.
2. Pengesahan APBDes
Rancangan APBDes yang telah
disetujui oleh BPD, ditetapkan oleh kepala
desa menjadi APBDes. Penetapan APBDes
dilakukan oleh kepala desa setiap tahun
dengan peraturan desa selambat-lambatnya
satu bulan setelah APBD kabupaten
ditetapkan. APBDes dinyatakan sah apabila,
selain mendapat persetujuan BPD dan
ditetapkan dengan peraturan desa, juga
harus diundangkan dalam lembaran desa
oleh sekretaris desa.
Rancangan APBDes yang telah
dibuat oleh Kepala Desa Sebuntal,
diserahkan kepada ketua BPD, dan ketua
BPD tinggal menyetujui saja lewat tanda
tangan yang diberikan oleh ketua BPD dan
sekretarinya. Rancangan APBDes yang
telah disetujui oleh BPD kemudian
disahkan oleh kepala desa menjadi
APBDes, tetapi tanpa diundangkan oleh
sekretaris desa dalam lembaran desa.
3. Pelaksanaan APBDes
Menurut Peraturan Daerah
Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 3
Tahun 2000, APBDes yang telah
ditetapkan oleh kepala desa dan BPD baru
dapat dilaksanakan setelah dikeluarkan
Surat Keputusan Kepala Desa tentang
pelaksanaan peraturan desa mengenai
anggaran desa. Untuk tahun anggaran
2006, Kepala Desa Sebuntal tidak
mengeluarkan Surat Keputusan sebagai
dasar pelaksanaan APBDes dan
pelaksanaan program kerja pemerintah
tidak dididasarkan pada program yang
disusun dalam APBDes melainkan
mengacu kepada program yang disusun
dalam “Buku Putih”.
Buku putih adalah buku yang
berisikan program pembangunan desa,
yang disusun tiap tahun oleh pemerintah
desa, BPD dan ketua RT. Untuk tahun
anggaran 2006, buku putih di Desa
Sebuntal disusun oleh kepala desa bersama
dengan BPD dan beberapa ketua RT dalam
suatu rapat yang disebut MUSBANGDES.
Hasil MUSBANGDES kemudian disampaikan
ke kabupaten dalam bentuk daftar
proyek pembangunan dengan dana
maksimal 2 milyar. Di kabupaten, program
pembangunan yang diajukan oleh
pemerintah desa diolah kembali atau ada
penambahan/ pengurangan terhadap
program pembangunan hasil MUSBANGDES
tersebut. Program pembangunan
inilah yang nantinya akan
dilaksanakan di desa, tetapi pelaksanaan
program pembangunan yang termuat
dalam buku putih akan dilaksanakan oleh
pihak kecamatan dan dinas-dinas terkait.
Pemerintah desa hanya sekedar
mengetahui dan menerima pelaksanaan
program pembangunan di desanya.
Apabila terjadi perubahan dalam
pelaksanaan program buku putih, maka
hasilnya hanya diketahui oleh kepala desa
dan pihak kecamatan serta dinas-dinas
terkait, sedangkan BPD tidak diberitahu
DAMA – Implementasi Kebijakan APBDes Sebuntal Kec. Marang Kayu Tahun 2006
79
tentang perubahan tersebut dan arsip buku
yang direvisi tersebut hanya ada di
kecamatan.
Buku putih pada dasarnya sama
dengan APBDes untuk bagian pengeluaran
pembangunan.
Menurut Peraturan Daerah
Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 3
Tahun 2000, peranan dari bendaharawan
desa sangat penting, karena bendaharawan
inilah yang akan mengatur segala
penerimaan dan pengeluaran anggaran.
Untuk mengatur pengelolaan keuangan
desa, maka bendaharawan desa
menggunakan buku administrasi desa,
yang terdiri dari: buku anggaran desa,
buku kas umum dan buku kas pembantu.
Dalam pelaksanaan kegiatan
pembangunan di Desa Sebuntal,
bendaharawan desa juga mempunyai
fungsi yang cukup penting, yaitu mengatur
keuangan desa, baik untuk penerimaan
maupun pengeluaran, tetapi khusus dana
diluar buku putih, dan dalam
melaksanakan tugasnya, Bendaharawan
Desa Sebuntal juga menggunakan buku
administrasi desa yaitu buku kas umum.
Buku anggaran desa dan buku kas
pembantu tidak digunakan karena
ketidakpahaman tentang penggunaan buku
tersebut. Berdasarkan informasi yang
penulis dapatkan, belum pernah dilakukan
pelatihan kepada bendaharawan desa
tentang cara pengisian ketiga jenis buku
tersebut. Buku kas umum digunakan oleh
bendaharawan desa untuk mencatat
kegiatan harian yang dilaksanakan baik
menyangkut masalah penerimaan maupun
pengeluaran, dan pencatatan untuk semua
jenis penerimaan dan pengeluaran tersebut
didasarkan pada tanda bukti penerimaan
dan pengeluaran yang ada.
Untuk program yang termuat dalam
buku putih ditangani langsung oleh pihak
kecamatan dan dinas terkait termasuk
masalah pembayarannya.
4. Pertanggungjawaban APBDes
Selambat-lambatnya tiga bulan
setelah berakhirnya tahun anggaran desa,
kepala desa harus membuat laporan
pertanggung- jawaban tentang pelaksanaan
APBDes. Laporan pertanggung- jawaban
yang dibuat oleh kepala desa, didasarkna
pada laporan pertanggungjawaban yang
dibuat oleh bendaharawan desa,
sebagaimana yang termuat dalam buku
administrasi desa, terutama buku kas
umum dan buku kas pembantu. Laporan
pertanggung- jawaban tentang pelaksanaan
APBDes tersebut harus disampaikan oleh
kepala desa kepada bupati dengan
tembusan kepada camat. Namun sebelum
laporan pertanggungjawaban tersebut
disampaikan kepada bupati, terlebih
dahulu kepala desa harus memperlihatkan
kepada BPD, dan setelah laporan tersebut
diterima oleh BPD, dalam arti BPD
menyetuju laporan pertanggung- jawaban
tersebut, barulah laporan pertanggungjawaban
itu bisa disampaikan kepada
bupati.
Dalam pelaksanaan pengelolaan
keuangan Desa Sebuntal, bendaharawan
desa tidak pernah membuat laporan
pertanggungjawaban, dengan demikian
kepala desa juga tidak pernah membuat
laporan pertanggungjawaban tentang
kegiatan yang berlangsung dalam satu
tahun anggaran, baik menyangkut masalah
penerimaan maupun pengeluaran rutin.
Spirit Publik Vol. 4, No. 1, April 2008 Hal. 69 – 84
80
Pertanggungjawaban tentang pengeluaran
pembangunan yang tertuang dalam
bentuk program buku putih, yaitu untuk
pengeluaran yang bersifat pembangunan
fisik, dibuat oleh bendaharawan kecamatan
(mengenai masalah pembayaran pelaksanaan
suatu proyek), sedangkan laporan
pertanggungjawaban tentang pelaksanaan
pembangunan tersebut, disampaikan
langsung oleh pimpinan proyek kepada
kabupaten. Kemudian untuk kegiatan yang
bersifat sosial, ditangani langsung oleh
dinas sosial kabupaten, demikian juga
masalah pertanggungjawaban pelaksanaan
kegiatan tersebut.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dalam
Penyusunan APBDes
Penyusunan program kerja pemerintah
desa dalam bentuk APBDes, telah dilakukan di
Desa Sebuntal sejak tahun 2001, namun dalam
pelaksanaannya, belum sepenuhnya berjalan
sesuai dengan peraturan daerah yang
dikeluarkan oleh Kabupaten Kutai
Kartanegara.
Menurut Sukasmanto (2004: 73), dalam
proses implementasi anggaran desa
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1. Transparansi
Transparansi diartikan sebagai
terbukanya akses bagi semua pihak yang
berkepentingan terhadap informasi yang
diperlukan, termasuk berbagai peraturan
dan perundangan serta kebijakan
pemerintah. Penciptaan keterbukaan
diawali dengan lancarnya komunikasi
antara pemerintah dan masyarakat.
Masyarakat diberi ruang luas untuk
mengakses informasi, sementara
pemerintah juga bisa menyediakan
informasi yang dibutuhkan, misalanya
laporan keuangan dan kinerja keuangan.
Selain itu, dengan transparansi dapat
membantu mempersempit peluang kolusi,
korupsi dan nepotisme (KKN), karena
proses pengambilan keputusan dapat
diikuti oleh masyarakat luas dengan
mudah.
Dalam penyusunan rancangan
APBDes yang dilakukan oleh kepala desa,
yang kemudian ditetapkan bersama BPD,
hasilnya tidak pernah disosialisasikan
kepada masyarakat. Demikian juga
program pembangunan yang disusun oleh
kepala desa, BPD dan beberapa ketua RT
dalam MUSBANGDES, yang nantinya
menghasilkan program “Buku Putih”.
Padahal seyogyanya APBDes/ Buku Putih
ini harus disosialisasikan kepada
masyarakat. Akibat dari tidak adanya
sosialisasi, maka masyarakat tidak
mengetahui tentang program kerja
pemerintah desa dalam tahun anggaran
yang berjalan, sehingga masyarakat hanya
mampu sebagai penonton dalam
pelaksanaan program/ kebijakan dari
pemerintah desa. Kondisi demikian sangat
rentan terhadap penyimpangan, karena
masyarakat tidak mengetahui kegiatan apa
saja yang diprogramkan oleh pemerintah
dalam tahun anggaran tersebut.
2. Akuntabilitas (pertanggungjawaban)
Pertanggungjawaban yang dimaksud
adalah pertanggungjawaban pemerintah
desa terhadap pelaksanaan tugasnya,
terutama pertanggungjawaban terhadap
penggunaan keuangan desa. Dalam
akuntabilitas, mengandung prinsip bahwa
penyelenggaraan pemerintahan atau semua
kegiatan birokrasi pemerintah harus dapat
DAMA – Implementasi Kebijakan APBDes Sebuntal Kec. Marang Kayu Tahun 2006
81
dipertanggungjawabkan secara terbuka
kepada masyarakat.
Dalam pelaksanaan APBDes di Desa
Sebuntal, belum pernah dibuat laporan
pertanggungjawabannya, terutama laporan
penggunaan anggaran di luar program
Gerbang Dayaku. Demikian juga halnya
dengan pengeluaran pembangunan
(program yang termuat dalam buku putih)
yang ditangani oleh bendaharawan
kecamatan, dinas sosial kabupaten dan
dinas terkait lainnya, langsung
disampaikan ke kabupaten. Dengan
demikian kemungkinan terjadinya
penyimpangan dalam penggunaan
anggaran sangat besar.
3. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat berhubungan
dengan kemampuan pemerintah desa untuk
membuka peluang bagi komponen
masyarakat untuk terlibat dan berperan
serta dalam proses pembangunan desa.
Bentuk peran serta masyarakat dapat
berupah kontrol terhadap penyelengaraan
kegiatan pemerintahan, mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan suatu program
tanpa menunggu suatu penyelewengan
terjadi lebih dahulu.
Dalam pelaksanaan kegiatan
pembangunan di Desa Sebuntal, partisipasi
masyarakat telah dilakukan melalui BPD,
dimana fungsi BPD adalah membawakan
aspirasi masyarakat. Sedangkan untuk
partisipasi masyarakat yang bersifat
langsung, sangat minim atau dapat
dikatakan tidak ada, karena partisipasi
masyarakat yang paling dasar, yaitu
sebagai kontrol terhadap pelaksanaan
kegiatan pembangunan desa tidak berjalan,
hal ini disebabkan karena masyarakat tidak
mengetahui dan memahami tentang
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
desa dalam satu tahun anggaran. Jadi tidak
mungkin masyarakat dalam melakukan
kontrol terhadap suatu kegiatan yang pada
dasarnya mereka tidak pernah tahu.
4. Penyelenggaraan Pemerintahan yang
Efektif
Yaitu penyusunan APBDes
didasarkan pada partisipasi masyarakat
yang dapat dilakukan melalui BPD.
Dalam penyusunan APBDes pada
Desa Sebuntal tidak didasarkan pada
partisipasi masyarakat, karena rancangan
APBDes dibuat sendiri oleh kepala desa
dan BPD tinggal menyetujui saja. Dari
data anggaran desa tahun 2006, terlihat
bahwa program yang disusun oleh kepala
desa tidak menunjukkan adanya program
yang secara jelas mengarah kepada
pembangunan desa dan masyarakat desa,
yang hendak dicapai dalam tahun anggaran
tersebut. Contoh: untuk program
pengeluaran pembangunan, hanya berupa
rincian kegiatan seperti pembuatan dam
dengan dana Rp. 15.000.000 yang hampir
setiap tahun diprogramkan oleh
pemerintah desa, pembuatan sarana air Rp.
130.000.000. Pembuatan sarana air adalah
merupakan suatu program yang bersifat
pemborosan, karena program tersbut tidak
tahan lama (maksimal hanya bisa 1-2
bulan saja), dan mengingat kondisi Desa
Sebuntal adalah sebuah “desa”, maka
seharusnya program tersebut dapat
dilakukan dengan gotong-royong, sehingga
dana yang ada dapat digunakan untuk
pembangunan di bidang lainnya. Uraian
pengeluaran pembangunan lainnya yang
belum jelas mengenai bentuk konkret
Spirit Publik Vol. 4, No. 1, April 2008 Hal. 69 – 84
82
kegiatannya, yaitu bantuan pelatihan untuk
industri rumah tangga dengan dana Rp.
973.000.000 dan bantuan bidang ekonomi
kerakyatan dan infrastruktur Rp.
757.000.000.
Padahal jika pemerintah desa lebih
peka, maka akan terlihat bahwa bidang
pendidikan sangat membutuhkan bantuan,
seperti kondisi bangunan sekolah dasar,
serta meja dan kursinya yang mengalami
kerusakan cukup parah, perpustakaan yang
hanya diisi dengan buku-buku yang sudah
tua, serta kurangnya ruangan kelas seperti
yang terjadi di SD 005, dimana karena
keterbatasan ruangan, maka untuk ruang
perpustakan terpaksa menggunakan salah
satu kamar di rumah salah seorang guru,
demikian juga pada SD 007, dimana
karena masalah keterbatasan ruangan juga,
maka satu kelas difungsikan menjadi dua
kelas yang digunakan pada waktu
bersamaan dengan hanya dibatasi sekat
yang tidak menutup secara sempurna.
Masalah kondisi jalan yang cukup
memprihatinkan baik dalam wilayah Desa
Sebuntal, maupun jalan yang menghubungkan
Desa Sebuntal dengan wilayah
lainnya (Kec. Muara Badak, Samarinda
dan kota-kota lainnya). Listrik yang hanya
berfungsi pada malam hari, adalah
merupakan permasalahan-permasalahan
yang seharusnya mendapat perhatian serius
bagi pemerintah desa dalam penyusunan
program pembangunan desa.
5. Pemerintah Tanggap terhadap Aspirasi
yang Berkembang di Masyarakat.
Dalam hal ini menyangkut kepekaan
pemerintah desa terhadap permasalahan
yang ada dalam kehidupan masyarakat dan
apa yang menjadi kebutuhan serta
keinginan masyarakat.
Dalam penyusunan APBDes/ Buku
Putih pada Desa Sebuntal, terlihat bahwa
pemerintah desa masih kurang tanggap
terhadap permasalahan yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana
yang telah diuraikan pada poin
sebelumnya. Selain itu, kurangnya
keterbukaan pemerintah desa kepada
masyarakatnya mengenai kebijakan/
program yang ditetapkan dalam satu tahun
anggaran, mengakibatkan masyarakat
hanya mampu sebagai penonton dan
bersifat apatis terhadap kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah, dan tidak tahu
bagaimana cara yang harus ditempuh
untuk menyatakan keinginan dan
kebutuhannya.
6. Profesionalisme
Menyangkut kemampuan yanga harus
dimiliki oleh seorang aparatur sesuai
dengan jabatannya.
Kemampuan aparatur pemerintah
Desa Sebuntal masih kurang dalam hal
pelaksanaan tugasnya, sebagai contoh
dalam hal pengelolaan keuangan desa,
bendaharawan desa hanya menggunakan
buku kas umum, hal ini disebabkan karena
tidak mengerti cara penggunaan buku
anggaran desa dan buku kas pembantu.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa
APBDes yang disusun oleh pemerintah Desa
Sebuntal hanya merupakan formalitas saja dan
bukan menjadi dasar kerja pemerintah desa
untuk tahun anggaran tersebut, hal ini dapat
DAMA – Implementasi Kebijakan APBDes Sebuntal Kec. Marang Kayu Tahun 2006
83
dilihat seperti pada APBDes untuk tahun
anggaran 2006, yang baru dibuat pada bulan
November sementara program pembangunan
sudah berjalan sejak bulan September. Yang
menjadi dasar kerja bagi pemerintah desa
adalah program yang termuat dalam “Buku
Putih”. Akan tetapi program yang termuat
dalam “Buku Putih”, juga belum mencerminkan
adanya program yang menjadi
kebutuhan mendasar dalam masyarakat (belum
mampu menjawab kebutuhan mendasar dalam
kehidupan masayarakat desa) dan dalam
penyusunan “Buku Putih”, masih ada campur
tangan pemerintah kabupaten didalam
penetapan program-program pembangunan
untuk satu tahun anggaran serta
pelaksanaannya yang masih dilakukan oleh
pihak kecamatan dan dinas terkait. Selain itu,
kurangnya keterbukaan pemerintah desa
kepada masyarakat mengakibatkan masyarakat
tidak mengetahui tentang program kerja
pemerintah dalam tahun anggaran tersebut
sehingga fungsi kontrol masyarakat tidak dapat
berjalan. Pemerintah desa juga belum pernah
membuat laporan pertanggungjawaban
mengenai pelaksanaan kegiatannya, terutama
laporan pertanggungjawaban mengenai
penggunaan keuangan desa. Akibat kondisi ini
maka pelaksanaan pembangunan di Desa
Sebuntal sangat rentan untuk terjadi
penyimpangan.
SARAN
APBDes yang dibuat oleh pemerintah
desa Desa Sebuntal seharusnya benar-benar
menjadi dasar kerja bagi pemerintah Desa
Sebuntal untuk satu tahun anggaran
sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 3
Tahun 2000. Selain itu, penyusunan rancangan
APBDes tidak dilakukan oleh kepala desa saja
tetapi juga harus melibatkan BPD sebagai
wakil masyarakat dan rancangan APBDes
yang disusun harus didasarkan pada apa yang
benar-benar menjadi kebutuhan dan keinginan
masyarakat desa. APBDes yang telah
ditetapkan oleh pemerintah desa juga harus
disosialisasikan kepada masyarakat sehingga
masyarakat dapat mengetahui program kerja
pemerintah dalam satu tahun anggaran dan
masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses
pelaksanaan pembangunan di Desa Sebuntal
baik dalam bentuk memberikan masukan
kepada pemerintah desa maupun melaksanakan
kontrol terhadap pelaksanaan kegiatan
pembangunan desa.
Buku putih yang tidak lain adalah
APBDes untuk bagian pengeluaran
pembangunan, seharusnya juga disusun
berdasarkan kebutuhan mendasar masyarakat,
sehingga dapat memberikan manfaat yang
besar bagi kehidupan masyarakat mengingat
dana untuk program “Buku Putih” sangat
besar. Dalam pelaksanaan program “Buku
Putih” juga seharusnya diserahkan kepada
pemerintah desa dan bukan kepada pihak
kecamatan karena hal ini menyangkut
kepentingan masyarakat desa. Adanya sistem
pelaksanaan “Buku Putih” yang terpusat di
kecamatan mengakibatkan transparansi kepada
masyarakat sulit dicapai, karena alur
pelaksanaan program hanya sampai pada pihak
kepala desa, kecamatan dan kabupaten. Selain
itu, hal ini juga tidak sesuai dengan Undang-
Undang Otonomi Daerah dan Peraturan
Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara 3 Tahun
2000, dimana dalam undang-undang dan
peraturan tersebut ditegaskan bahwa keuangan
desa diatur oleh pemerintah desa berdasarkan
Spirit Publik Vol. 4, No. 1, April 2008 Hal. 69 – 84
84
aspirasi masyarakat desa. Dan jika ditinjau
lebih jauh, seharusnya buku putih tidak perlu
ada, karena pada dasarnya sama dengan
APBDes untuk bagian pengeluaran
pembangunan, dengan adanya buku putih
maka fungsi APBDes terutama untuk bagian
pengeluaran tidak berjalan
Setiap penggunaan keuangan desa juga
harus dibuat laporan pertanggungjawabannya
termasuk penggunaan keuangan yang selama
ini diatur oleh bendaharawan desa, agar jelas
arah penggunaan keuangan desa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2001, Undang-Undang Otonomi Daerah
Tahun 1999, Bandung: Citra Umbara.
Anonim, 2002, Himpunan Peraturan tentang
Pemerintahan Desa, Tenggarong: Bagian
Pemerintahan Desa Sekretaris Daerah
Kabupaten Kutai.
Miles, Mattew B dan A. M. Huberman, 1992,
Analisis Data Kualitatif, Jakarta:
Universitas Indonesia.
Moleong, Lexy J, 2002, Metodologi Penelitian
Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Solichin Abdul Wahab, 1999, Analisis Kebijakan
Publik Teori dan Aplikasinya, Malang:
Danar Wijaya-Brawijaya University.
, 2004, Analisis Kebijakan dari
Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi
Aksara.
Sukasmanto dkk, 2004, Promosi Otonomi Desa,
Yogyakarta: IRE Press.
PANDUAN PENYELENGGARAAN
MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA
PANDUAN PENYELENGGARAAN
MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

Perlu diakui bahwa bagi masyarakat, mengikuti proses Musrenbang tidak selalu menjadi pengalaman yang kaya dan aspiratif. Di kebanyakan tempat, Musrenbang sering kali hanya menjadi bagian “ritual” proses perencanaan yang memiliki makna yang sempit bagi warga setempat, bahkan dinilai tidak relevan lagi bagi kaum perempuan dan kelompok miskin. Padahal, Musrenbang adalah satu metode bottom-up yang tidak dimiliki oleh setiap negara berkembang.
Keberadaan Musrenbang secara resmi dalam proses perencanaan adalah satu kesempatan untuk benar-benar menerapkan prinsip pendekatan bottom-up ini. Jika dikaitkan dengan proses penganggaran, Musrenbang merupakan salah satu tahapan di mana kebutuhan masyarakat bisa diidentifikasi dan dianggarkan.
Oleh karena itu, The Asia Foundation menyambut baik penerbitan buku Panduan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang dikembangkan oleh Tim Perkumpulan Inisiatif-Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (Inisiatif-FPPM). Penerbitan panduan Musrenbang ini adalah bagian dari Program Anggaran Responsif Gender dari The Asia Foundation. Program ini bertujuan untuk memberikan dukungan bagi penguatan partisipasi perempuan dalam proses perencanaan dan pengangaran, penguatan keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga lokal, membangun kepedulian terhadap analisis jender dalam anggaran publik, serta mendorong alokasi anggaran publik yang memadai bagi prioritas perempuan dan masyarakat miskin lainnya.
Penerbitan panduan ini dimaksudkan sebagai sumber inspirasi dan bahan pembelajaran bagi para penyelenggara Musrenbang, pemandu, dan warga masyarakat dalam mewujudkan partisipasi perempuan dan masyarakat miskin dalam proses perencanaan dan penganggaran yang lebih berarti. Melalui panduan ini, diharapkan kinerja penyelenggaraan Musrenbang dapat diperbaiki sehingga masyarakat miskin dan perempuan dapat mempengaruhi hasil-hasil perencanaan di setiap tingkatan pemerintahan. Dengan demikian, hasil dari proses perencanaan ini menjadi bahan bagi penyusunan anggaran daerah yang lebih berpihak kepada kelompok miskin dan perempuan.
Panduan ini memberikan gambaran mengenai prinsip-prinsip keberpihakan terhadap kelompok miskin dan perempuan yang dapat diterapkan dalam mekanisme formal Musrenbang. Prinsip-prinsip ini kami anggap penting untuk dihayati oleh para penyelenggara Musrenbang, termasuk para fasilitator dan peserta, sehingga kegiatan Musrenbang yang rutin dilakukan tiap tahun ini bisa benar-benar dimanfaatkan. Terlalu sering kita mendengar cerita klasik mengapa seorang ibu miskin tidak bisa ikut Musrenbang, atau bagaimana hasil Musrenbang menjadi satu kertas penuh daftar keinginan yang hampir pasti tidak bisa dianggarkan oleh APBD setempat.
Tim Inisiatif-FPPM dengan pengalamannya dalam melakukan pendampingan masyarakat menuju proses perencanaan dan penganggaran yang partisipatif telah menyusun panduan ini ke dalam lima buku yang disusun berdasarkan kajian evaluasi pelaksanaan Musrenbang di Kota Palu dan Kabupaten Sumedang, serta diperkaya dengan hasil rangkaian diskusi yang melibatkan para pelaku dan penggiat Musrenbang di berbagai daerah. Buku panduan yang diterbitkan ini mencakup penyelenggaraan tahapan Musrenbang dari Musrenbang desa/kelurahan, Musrenbang kecamatan, Forum Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), dan Musrenbang kabupaten/kota.
Hal yang menarik, panduan ini tidak dimaksudkan menjadi satu-satunya rujukan bagi penyelenggara Musrenbang di daerah, melainkan untuk melengkapi beberapa pilihan model yang telah dikembangkan oleh banyak pihak. Panduan ini pun bukan sebuah panduan yang baku, tetapi dapat dikembangkan dan diubah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Tim Inisiatif-FPPM telah melakukan studi untuk menjaga konsistensi panduan dengan peraturan yang berlaku melalui serangkaian pembahasan yang melibatkan berbagai pihak yang meliputi berbagai organisasi masyarakat sipil, kalangan legislatif di daerah, dan pemerintah –baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Panduan ini juga telah diujicobakan di Kota Palu, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Bandung.
Kami berterima kasih kepada Canada International Development Agency (CIDA) atas dukungan yang diberikan untuk penerbitan buku panduan ini. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) telah menjadi istilah populer dalam penyelenggaraan perencanaan pembangunan dan penganggaran di daerah dan desa, bersamaan dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Dalam Pasal 1 ayat (21) dinyatakan bahwa Musrenbang adalah forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah. Sedangkan untuk Musrenbang desa dinyatakan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (11), yang menyebutkan bahwa Musrenbang desa adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan desa untuk menyepakati rencana kegiatan di desa 5 dan 1 tahunan.
Namun pada pelaksanaannya, Musrenbang seringkali belum mencerminkan semangat musyawarah yang bersifat partisipatif dan dialogis. Musrenbang belum dapat menjadi ajang yang bersahabat bagi warga masyarakat terutama kelompok miskin dan perempuan dalam menyuarakan aspirasi dan kebutuhannya. Suara kelompok miskin dan perempuan seringkali tersingkir pada saat penetapan prioritas program dan kegiatan pembangunan di daerah.
Panduan penyelenggaraan musyawarah perencanaan pembangunan ini disusun sebagai upaya menjabarkan salah satu amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah dalam penyelenggaraan Musrenbang di daerah. Secara spesifik, panduan ini dirancang secara khusus untuk lebih memberikan kesempatan kepada kelompok miskin dan perempuan dalam ikut menentukan arah dan prioritas kegiatan pembangunan. Panduan ini berisikan prinsip-prinsip, metode dan teknik, serta media baik bagi lembaga penyelenggara musrenbang, pemandu, maupun warga masyarakat biasa dalam menyelenggarakan rangkaian kegiatan Musrenbang yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin dan perempuan. Panduan ini terdiri atas lima buah buku panduan penyelenggaraan Musrenbang di tingkat desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten/kota, serta Forum SKPD.
Buku Panduan Penyelenggaraan Musrenbang Desa memaparkan apa dan bagaimana menyelenggarakan dan memandu rangkaian kegiatan Musrenbang di tingkat desa secara lebih partisipatif untuk menghasilkan daftar usulan permasalahan atau kegiatan pembangunan daerah di tingkat desa, dan menghasilkan Rencana Kerja Pembangunan Desa. Rencana Kerja Pembangunan Desa menjadi dasar bagi penyusunan Rancangan APB Desa. Musrenbang tingkat desa merupakan salah satu bentuk pengejawantahan otonomi desa dalam penyelenggaran pembangunan di wilayahnya.
Karena itu buku panduan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga penyelenggara, pemandu, dan para penggiat Musrenbang ataupun masyarakat biasa dalam mempraktikkan Musrenbang yang lebih berpihak kepada kelompok miskin dan perempuan. Bagi pemerintah daerah, diharapkan buku panduan ini dapat memberikan inspirasi dalam memperbaiki sistem perencanaan pembangunan daerahnya. Bagi para penggiat partisipasi masyarakat dalam perencanaan daerah, panduan ini diharapkan dapat menjadi bahan dalam mendorong upaya-upaya perbaikan regulasi dan praktik Musrenbang di daerah.
Dengan berbagai kekurangan yang ada, melalui buku ini Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) bermaksud memberikan kontribusi dalam mendorong pelaksanaan praktik perencanaan dan penganggaran yang lebih berpihak kepada kelompok miskin dan perempuan. Dengan demikian Musrenbang dapat semakin menyentuh serta memenuhi aspirasi dan kebutuhan kelompok masyarakat yang selama ini banyak terpinggirkan.

Ucapan Terima Kasih
Panduan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan ini terwujud berkat kontribusi berbagai pihak, termasuk kalangan yang bergerak dalam praktik perencanaan pembangunan di daerah. Untuk itu, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada mereka yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya dalam rangka penyusunan panduan ini.
Terima kasih kami ucapkan kepada mitra-mitra yang telah berperan dalam penyelenggaraan kajian lapangan dan ujicoba panduan, yaitu: Komunitas Peduli Anak dan Perempuan (KPPA) dan Bappeda Kota Palu yang menjadi mitra pelaksanaan ujicoba panduan di Kota Palu; Pusat Pengkajian Pengembangan Masyarakat Lokal (P3ML) dan Bappeda Kabupaten Sumedang yang menjadi mitra pelaksanaan ujicoba panduan di Kabupaten Sumedang; serta Forum Diskusi Anggaran (FDA), Perkumpulan Inisiatif, dan Bappeda Kabupaten Bandung yang menjadi mitra pelaksanaan ujicoba di Kabupaten Bandung.
Demikian pula kepada mitra yang tergabung dalam program Gender-Responsive Budgeting Initiative–TAF (Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Bone, Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (YASMIB), Yayasan Kombongan Situru (YKS), dan Yayasan Lembaga Pengkajian Pengembangan Ekonomi dan Masyarakat, yang telah memberikan masukan yang berharga terkait dengan pengalamannya dalam melakukan pendampingan advokasi perencanaan dan penganggaran berbasis jender.
Juga kami sampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah bersedia mencurahkan waktu dan tenaganya untuk terlibat dalam rangkaian kegiatan penyusunan dan pembahasan buku panduan ini, yatu: Ir. Iis Hernaningsih (Ditjen Bina Bangda), Drs. Agus Suksestiyoso (Ditjen Bina Bangda), Florenswati Mekka (Ditjen Bina Bangda), Muthmainah Corona (KPPA), Ngatminah (KPPA), Nashir A. Djalil (KPPA), Irmayanti (Bappeda Kota Palu), Zenny Muryaman (P3ML), Didin Nurodin (P3ML), Deden Hilga (P3ML), Usep (Bappeda Sumedang), Edi Supena (Bappeda Sumedang), Susmanto (Inspirasi), Irwan Sucahyo (Inspirasi), Suhirman (FPPM), Diding Sakri (Perkumpulan Inisiatif), Miftahudin (Lakpesdam NU), Misbach (Lakpesdam NU), Dwi Joko Widiyanto (Studio Driya Media), Riza Irfani (YSNI), Nurhasannah (Sanggar), Entin S. Muslim (Sanggar), Purnama

Bantaeng Hijau dan Bersih

Bantaeng Hijau dan Bersih

Kamis, 15 September 2011

LED Dalam Menggagas PERDES Indiquines Knowledge

Berbicara soal lingkungan hidup tentunya tidak terlepas dari peranan berbagai pihak, terutama masyarakat. Di era Globalisasi ini perhatian terhadapa ekosistem dan pola hidup manusia yang sudah semakin modern akan berdampak sangat signifikan terhadap pola dan perilaku kita pada lingkungan tatanan ekosistem yang semakin buruk. menyikapi pentingnya lingkungan yang sehat semestinya pemerintah tidak hanya fokus pada bagaimana menanam pohon untuk penghijauan, tetapi bagaimana mempertahankan perilaku yang sadar akan pentingnya stabilitas ekosistem mulai dari fungsi pohon sampai pada fungsi hutan secara global. Selama ini pemerintah sudah banyak menghabiskan anggaran untuk reboisasi dan banyak lagi program lainnya, toh ternyata perubahan yang dirasakan tidak balance dengan biaya yang dikeluarkan. satu contoh yang banyak menuai kontroversial adalah PROGRAM HUTAN DESA yang terletak di DESA LABBO Kab. Bantaeng Kenapa ini menjadi topik yang hangat untuk di shrae dengan berbagai kalangan karna sampai hari Hutan Desa tidak jelas bagaimana proses pengelolaannya, seperti yang disampaikan oleh beberpa warga masyarakat Desa bahwa setiap orang di berikan hak pengelolaan dengan pembagian lahan yang dipetak-petakkan oleh BUMDES dalam hal sebagai pengelola di tingkat Desa. sementara masyarakat belum terlalu memahami akan konsep pengelolaan seperti yang akan dilakukan, karna mayoritas warga desa adalah petani yang mengelola tanaman jangka panjang.
Sebagai solusi yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana sosialisasi aktif terhadap warga yang mendapatkan lahan untuk dikelola secara khusus dan secara umum warga desa Labbo sepatutnya mengetahui akan fungsi hutan dan bagaimana bentuk pengelolaan yang akan dilakukan.

Kembali pada judul, menggagas PERDES INDIQUENES KNOWLEDGE yang sementara di gagas oleh teman-teman penggiat program yang tergabung dalam Lembaga Ekonomi Desa (LED) Lolo Gading Layoa di 8 Desa di Kab. Bantaeng, yang menjadi issu sentra dalam program ini adalah pola perilaku sadar hijau, atau bagaimana menumbuhkan minat dan kesadaran masyarakat untuk senantiasa menjaga lingkungannya. Dalam proses perubahan perilaku apalagi ditingkat komunitas yaitu DESA tentunya langkah awal yang dilakukan adalah melakukan assestment dan penggalian potensi serta pengenalan tradisi dan kebudayaan lokal sebagai salah satu pointer utama agar kita bisa diterima di komunitas tersebut. Salah satu contoh kearifan lokal yang ada disetiap Desa adalah setiap seorang ibu yang melahirkan biasanya biasanya sang ayah menanam ari-ari anaknya dengan kayu-kayuan, nah dengan adanya kebiasaan-kebiasaan tersebut itu merupakan langkah awal dalam menggagas peraturan desa terkait kearifan lokal, yaitu dengan cara semua pemangku jabatan ditingkat Desa dilatih terlebih dahulu bagaimana membuat perdes sehingga nantinya dalam mensosialisasikan perdes tersebut tidak lagi terlalu banyak kendala yang dihadapi. Tentunya ada yang bertanya-tanya bagaimana kita menkombain ide kita dengan kearifan lokal., sangat sederhana sekali yaitu keluarga yang sudah melahirkan tersebut pastinya akan mengambil permohonan akta kelahiran ataupu KK. Dan untuk mendapatkan AKTA ataupun KK salah satu syarat yang harus terpenuhi adalah harus menanam Pohon terlebih dahulu, yang direkomendasikan oleh Kader Pemerhati Lingkungan (KPL) sebagai Kader yang terlatih ditingkat desa sebanyak 2 orang yang nantinya sekaligus menjadi Duta Lingkungan dan Fasilitator tingkat Desa. Bagaimana kalau orang tersebut tidak memiliki lahan atau di mana mereka harus ambil bibit. tentunya di Desa juga akan di sediakan bibit yang dikelola oleh kelompok yang sudah diajak kerjasama, seperti KBR yang menyediakan bibit yang didapatkan dari Dinas terkait yaitu Kehutana dan Bappedalda. bagi warga yang tidak memiliki lahan maka di setiap desa di upayakan ada lahan khusus untuk ditanami dan Desa yang memiliki HUTAN DESA maka ditanam di hutan Desa tersebut.

satu kata untuk kita generasi saat ini adalah, apa yang kita lakukan hari akan menentukan pijakan langkah hari esok untuk anak cucu kita.

Rabu, 09 Maret 2011

Independent Forrest Monitoring (IFM)

Lokalatih "Independent Foreest Monitoring" sebuah langkah awal dalam proses untuk verifikasi legalitas kayu, yang diharapkan mampu mengangkat derajat masyarakat petani kayu terkhusus, kerangka IFM yang menaungi LP-VI sebagai satu kesatuan yang mempunyai fungsi legitimasi kontrol dalam melihat Verifikasi Legalitas kayu, mulai dari TPn, sampai pada tahapan UM yang mengolah dari segi produksinya, tentunya dari segi produksi meubel, seperti yang banyak kita temukan selama ini dipasar  Internasional maupun Nasiional.


Keterlacakan kayu itu sendiri dilakukan dengan sangat teliti dan sangat cermat bersama-sama dengan kelompok masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk itu, yaitu IFM yang telah terlegitimasi, Lembaga lokal NGO dibidang lingkungan yang jelas kepengurusan lembaga dan memiliki akta notaris, serta masyarakat madani lainnya...dalam pemantauan, independensi sangat dibutuhkan dan menjadi indikator utama dalam pelaksanaan tugas.

Standar Verifikasi Legilitas kayu(SVLK) yang menjadi indikator penting dalam mencegah semakin meluasnya pembabatan kayu dan perdangannya secara liar, dan tentunya akan menjamin keterlacakan kayu, mulai dari TPn.TPK Antara sampai UM dan tahapan produksinya, dengan sistem pelecakan asal usul kayu yang dinomor, sesuai dengan SKAU yang ada.

Video dibawah ini sedikit menggambarkan kerusakan Alam kita dengan banyak penebangan jyang dilakukan 
tanpa adanya pembagian antara Hutan Negara, Hutan Rakyat, dan Hutan Rakyat Produksi,  yang belum tentu memilki IUPHHK,IUPHHK-HL,IUPHHK-RE, IUPHHK-HTI,IUPHHK-HTR, IUPHHK-HD, IUPHHK-HKm, yang menjadi prasyarat utama dalam pengelolaan hutan Indonesia kita...






DAFTAR SURAT KELENGKAPAN KEHUTANAN DENGAN SINGKATANNYA.

v  Penatausahaan Hasil Hutan, adalah kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, penandaan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan/peredaran dan penimbunan, pengolahan dan pelaporan.

v  Hutan negara , adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.

v  Hasil hutan, adalah benda-benda hayati yang berupa Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) selain tumbuhan dan satwa liar yang dipungut dari hutan negara.

v  Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK Alam), adalah izin untuk memanfaatkan kayu alam pada hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil hutan kayu.

v  Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), adalah izin untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam.

v  Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan tanaman (IUPHHK Tanaman), adalah izin untuk memanfaatkan kayu tanaman pada hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penyiapan lahan, perbenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, dan pemasaran hasil hutan kayu.

v  Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) pada hutan tanaman adalah izin untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu hasil budidaya pada hutan produksi. yang kegiatannya terdiri dari penyiapan lahan, perbenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan, dan pemasaran hasil hutan bukan kayu.

v  Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK), adalah izin untuk melakukan pengambilan hasil hutan kayu meliputi pemanenan, pengangkutan, dan pemasaran untuk jangka waktu tertentu dan volume tertentu di dalam hutan produksi.

v  Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK), adalah izin dengan segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu antara lain rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, tanaman obat-obatan dan lain sebagainya di dalam hutan lindung dan atau hutan produksi.

v  Pemegang izin adalah, Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi atau Perorangan yang diberi izin untuk melakukan kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan dan atau pemungutan hasil hutan.

v  Izin Lainnya yang Sah (ILS), adalah izin pemanfaatan hutan yang diberikan dalam bentuk Izin Pemanfaatan Kayu.

v  Pemenang Lelang adalah Badan Usaha, Lembaga atau Perorangan yang telah ditetapkan oleh Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) sebagai pihak yang berhak memiliki hasil hutan yang dilelang.

v  Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) adalah izin untuk memanfaatkan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dikonversi, penggunaan kawasan dengan status pinjam pakai, tukar menukar dan dari Areal Penggunaan Lain (APL) atau Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK).

v  Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) adalah izin mendirikan industri untuk mengolah kayu bulat (KB) dan atau Kayu Bulat Kecil (KBK) menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.

v  Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IUIPHHBK) adalah izin mendirikan industri untuk mengolah hasil hutan bukan kayu menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.

v  Industri Pengolahan Kayu Lanjutan (IPKL) adalah industri yang mengolah hasil hutan yang bahan bakunya berasal dari produk industri primer hasil hutan kayu.

v  Industri Pengolahan Kayu Terpadu adalah industri primer hasil hutan kayu dan industri pengolahan kayu lanjutan yang berada dalam satu lokasi industry dan dalam satu badan hukum.

v  Blok Kerja Tebangan adalah satuan luas hutan tertentu yang akan ditebang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.

v  Petak Kerja Tebangan adalah bagian dari blok tebangan yang luasnya tertentu dan menjadi unit usaha pemanfaatan terkecil yang mendapat perlakuan silvikultur yang sama.

v  Tempat Pengumpulan Kayu (TPn) adalah tempat untuk pengumpulan kayu- kayu hasil penebangan/pemanenan di sekitar petak kerja tebangan yang bersangkutan .

v  Tempat Penimbunan Kayu (TPK) adalah tempat milik pemegang IUPHHK/IPHHK/IPK di dalam atau di sekitar arealnya yang berfungsi menimbun kayu bulat dan atau kayu bulat kecil dari beberapa TPn.

v  Tempat Penimbunan Kayu Industri (TPK Industri) adalah tempat penimbunan kayu di air atau di darat (logpond atau logyard) yang berada di lokasi industry dan sekitarnya.

v  Tempat Penimbunan Kayu Antara (TPK Antara) adalah tempat untuk menampung kayu bulat atau kayu bulat kecil baik berupa logpond atau Logyard, yang lokasinya di luar areal izin IUPHHK/IPHHK/IPK/ILS dengan penetapan oleh pejabat yang berwenang.

v  Tempat Penampungan Terdaftar adalah tempat untuk menampung kayu olahan milik perusahaan yang telah mendapatkan pengakuan dari Dinas Kabupaten/Kota.

v  Pejabat Pengesah Laporan Hasil Penebangan (P2LHP) adalah Pegawai Kehutanan yang memenuhi kualifikasi sebagai Pengawas Penguji Hasil Hutan yang diangkat dan diberi tugas, tanggung jawab serta wewenang untuk melakukan pengesahan laporan hasil penebangan kayu bulat dan atau kayu bulat kecil.

v  Pejabat Pengesah Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (P2LP-HHBK) adalah Pegawai Kehutanan yang memenuhi kualifikasi sebagai Pengawas Penguji Hasil Hutan yang diangkat dan diberi tugas, tanggung jawab serta wewenang untuk melakukan pengesahan laporan produksi hasil hutan bukan kayu.

v  Pejabat Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat (P3KB) adalah Pegawai Kehutanan yang mempunyai kualifikasi sebagai Pengawas Penguji Hasil Hutan dan diangkat serta diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas kayu bulat yang diterima industri primer hasil hutan, TPK Antara, atau pelabuhan umum.
v  Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (P2SKSKB) adalah pegawai yang bekerja di bidang kehutanan baik PNS maupun bukan PNS, yang mempunyai kualifikasi sebagai Pengawas Penguji Hasil Hutan yang diangkat dan diberi wewenang untuk menerbitkan dokumen SKSKB.

v  Penerbit Faktur (Penerbit FA-KB/FA-HHBK/FA-KO), adalah karyawan perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan yang mempunyai kualifikasi sebagai Penguji Hasil Hutan yang diangkat dan diberi wewenang untuk menerbitkan dokumen Faktur.

v  Badan Usaha adalah perusahaan yang berbadan hukum dan memiliki perizinan yang sah dari instansi yang berwenang dan bergerak dalam bidang usaha kehutanan.

v  Perorangan dalam kegiatan penatausahaan hasil hutan adalah orang seorang yang melakukan usaha di bidang kehutanan.

v  Timber cruising adalah kegiatan pengukuran, pengamatan dan pencatatan terhadap pohon (yang direncanakan akan ditebang), pohon inti, pohon yang dilindungi, permudaan, data lapangan lainnya, untuk mengetahui jenis, jumlah, diameter, tinggi pohon, serta informasi tentang keadaan lapangan/lingkungan, yang dilaksanakan dengan intensitas tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

v  Laporan Hasil Cruising (LHC) adalah hasil pengolahan data pohon dari pelaksanaan kegiatan timber cruising pada petak kerja tebangan yang memuat nomor pohon, jenis, diameter, tinggi pohon bebas cabang, dan taksiran volume kayu.

v  Buku Ukur (BU) adalah catatan harian atas hasil pengukuran kayu tebangan yang dibuat di TPn.

v  Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat (LHP-KB) adalah dokumen tentang realisasi seluruh hasil penebangan pohon berupa kayu bulat pada petak/blok yang ditetapkan.

v  Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat Kecil (LHP-KBK) adalah dokumen tentang realisasi seluruh hasil penebangan pohon berupa kayu bulat kecil pada petak/blok yang ditetapkan.

v  Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (LP-HHBK) adalah dokumen tentang realisasi seluruh hasil pemanenan berupa hasil hutan bukan kayu pada areal yang ditetapkan.

v  Kayu Bulat (KB) adalah bagian dari pohon yang ditebang dan dipotong menjadi batang dengan ukuran diameter 30 (tiga puluh) cm atau lebih.

v  Kayu Bulat Kecil (KBK) adalah pengelompokan kayu yang terdiri dari kayu dengan diameter kurang dari 30 (tiga puluh) cm, cerucuk, tiang jermal, tiang pancang, galangan rel, cabang, kayu bakar, bahan arang, dan kayu bulat dengan diameter 30 (tiga puluh) cm atau lebih berupa kayu sisa pembagian batang, tonggak atau kayu yang direduksi karena mengalami cacat/busuk bagian hati pohon/gerowong lebih dari 40% (empat puluh persen).

v  Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah hasil hutan selain kayu yang dipungut dari dalam hutan lindung dan atau hutan produksi antara lain berupa rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, tanaman obat-obatan dan lain sebagainya.

v  Kayu Olahan (KO) adalah produk hasil pengolahan hasil hutan kayu.

v  Kayu pacakan adalah kayu berbentuk persegi yang diolah di hutan dari KB atau KBK dengan menggunakan kapak, gergaji rantai atau alat sejenisnya.

v  Hasil hutan lelang adalah hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu yang berasal dari pelelangan yang sah.

v  Daftar Kayu Bulat (DKB/DKB-FA) adalah dokumen yang memuat identitas kayu bulat sebagai dasar penerbitan dan merupakan lampiran SKSKB/FA-KB.

v  Daftar Kayu Bulat Kecil (DKBK) adalah dokumen yang memuat identitas kayu bulat kecil yang digunakan sebagai dasar penerbitan dan merupakan lampiran FA-KB.

v  Daftar Hasil Hutan Bukan Kayu (DHHBK) adalah dokumen yang memuat identitas hasil hutan bukan kayu yang digunakan sebagai dasar penerbitan dan merupakan lampiran FA-HHBK.

v  Daftar Kayu Olahan (DKO) adalah dokumen yang memuat identitas kayu olahan sebagai dasar penerbitan dan merupakan lampiran FA-KO.

v  Surat keterangan sahnya hasil hutan adalah dokumen-dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan.

v  Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) adalah dokumen

v  angkutan yang diterbitkan oleh Pejabat yang Berwenang, dipergunakan dalam pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan berupa kayu bulat yang diangkut secara langsung dari areal ijin yang sah pada hutan alam negara dan telah melalui proses verifikasi legalitas, termasuk telah dilunasi PSDH dan atau DR.

v  Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh Penerbit FA-KB yang merupakan Petugas Perusahaan, dipergunakan dalam pengangkutan hasil hutan berupa kayu bulat atau kayu bulat kecil yang berasal dari perizinan yang sah pada hutan alam negara atau hutan tanaman di kawasan hutan produksi, dan untuk pengangkutan lanjutan kayu bulat atau kayu bulat kecil yang berasal dari kawasan hutan negara yang berada di luar kawasan.

v  Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh Penerbit FA-KO, dipergunakan dalam pengangkutan untuk hasil hutan berupa kayu olahan berupa kayu gergajian, kayu lapis, veneer, serpih dan laminated veneer lumber (LVL).

v  Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh Petugas FA-HHBK, yang digunakan untuk pengangkutan HHBK yang berasal dari areal ijin yang sah pada hutan alam negara.

v  Pengangkutan lanjutan adalah pengangkutan hasil hutan berupa kayu bulat atau kayu bulat kecil yang sebelumnya mengalami transit di TPK Antara/TPK Industri.

v  Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB) adalah dokumen yang menggambarkan penerimaan, pengeluaran dan sisa persediaan kayu bulat yang dibuat di TPK dimana terdapat mutasi kayu bulat.

v  Laporan Mutasi Kayu Bulat Kecil (LMKBK) adalah dokumen yang menggambarkan penerimaan, pengeluaran dan sisa persediaan kayu bulat kecil yang dibuat di TPK dimana terdapat mutasi kayu bulat kecil.

v  Laporan Mutasi Hasil Hutan Bukan Kayu (LMHHBK) adalah dokumen yang menggambarkan penerimaan, pengeluaran dan sisa persediaan hasil hutan bukan kayu.

v  Laporan Mutasi Kayu Olahan (LMKO) adalah dokumen yang menggambarkan penerimaan, pengeluaran dan sisa persediaan kayu olahan yang dibuat di industri atau di tempat penampungan yang sah.

v  Kelompok Jenis Kayu adalah pengelompokan jenis-jenis kayu yang telah ditebang berdasarkan kelompok tarif PSDH/DR, yang sekaligus mewakili hak-hak negara yang melekat pada kayu bulat tersebut.

v  Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Bina Produksi Kehutanan.

v  Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab dibidang kehutanan di daerah Provinsi.

v  Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di daerah Kabupaten/Kota.

v  Balai adalah unit pelaksana teknis yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal.